Wednesday, April 30, 2014

Kakek Penjual Lem

Pada suatu hari, tepatnya itu hari jum’at. Sekitar pukul 11.45 saya pergi k mesjid belakang kampus untuk menunaikan ibadah sholat jum’at dan dzuhur. Saya berjalan dengan teman kelas yang juga beragama islam untuk menunaikan sholat bersama. Ketika perjalanan ke mesjid sekitar 10 meter dari mesjid terlihat seorang kakek tua yang duduk lemas di pinggiran dinding dan pagar kampus. Sekilas saya berfikir itu seorang pengemis, ketika makin dekat perjalanan saya dengan si kakek tua itu. Saya tergejut ternyata dia pedagang Lem kertas. Sementara saya lihat di kerumunan banyak orang yang lalu lalang, tidak ada satu pun mahasiswa yang mendekati si kakek tua itu dengan maksud membeli barang dagangannya. Hati ini berdegup kencang dengan sedikit sedih melihat kondisi si kakek yang sudah tua. Namun waktu sholat sudah hampir mulai, dengan terpaksa saya harus melanjutkan berjalanan saya ke mesjid dengan maksud nanti setelah sholat saya akan menemui kakek itu.

Setelah saya menunaikan sholat, saya langsung keluar mesjid dan memakai sepatu saya. Dengan sedikit tergesa-gesa saya langsung menghampiri kakek tua yang ternyata dia juga baru selesai sholat. Dalam hati saya berkata “Ya Allah Hebat sekali kakek ini meskipun dia sudah tua, tetapi dia tetap menjalankan kewajiban sholatnya dengan harus berjalan kaki yang saya rasa diapun susah untuk berjalan”. Akhir nya saya sampai di tempat kakek tua, dan saya langsung berbincang kepada si kakek.
“Kek,Jualan apa disini”.tanyaku basa-basi untuk memulai perbincangan.
“Jual Lem kertas cu”. Jawab kakek itu pelan.
“Berapa kek 1 nya?”. Tanyaku lagi.
“1500 cu”. Jawab dia singkat.
“cucu mau beli?” tanyanya.
“ia kek, oia hari ini kakek sudah laku berapa lemnya?”.tanyaku kembali
“Kalo kamu jadi beli, kamu pembeli pertama yang membeli dagangan kakek hari ini.”katanya.
Akupun kaget mendengar jawabannya. Dari sekian banyak mahasiswa yang lewat belom ada 1 orang pun yang membeli barang dagangannya. Karena, untuk kalangan mahasiswa tidak terlalu membutuhkan Lem kertas.
“Kakek kenapa berjualan? Cucu kakek kemana?”. Bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Kakek sendiri cu sudah 5 tahun lebih kakek hidup sendiri”. Jawabnya sambil meneteskan air mata.
“Maav kek kalau saya banyak bertanya, ya sudah saya ambil semua ya kek lem nya” ujarku dengan senang hati sambil mengeluarkan uang 100.000,-.
Kakek itu pun memelukku sambil mengucapkan terima kasih.
Saya yakin harga lem itu tidak seberapa, tapi hanya demi kebutuhan makan harian kakek itu pun rela berjualan sepanjang hari untuk melangsungan hidupnya.


=======

cerita ini adalah menginformasikan kepada kita semua bahwa banyak orang” yg jauh dari beruntung diluar sana , yang masih berani bertahan hidup walau tantangan dan cobaan yang begitu besar yang harus dipikul , juga membuka mata kita bahwa uang sebesar 10rb / 20 rb yang selama ini kita anggap uang receh , tidak berlaku bagi mereka , bagi mereka uang sebesar itu adalah uang yang banyak dan sangat berarti bagi mereka ..

Kakek Tua Pedagang Tali Sepatu dan Koran


Jatinangor, tepatnya Universitas Padjadjaran adalah almamaterku, tempatku menimpa ilmu dan sebagai langkah awal mencapai asaku. Tak jauh berbeda memang dengan aktivitas di kampus lain dengan segala hiruk-pikuk lalu lalang para mahasiswanya. Jatinangor pun kini menjadi daerah pendidikan yang semakin mengalami perkembangan mengikuti zaman. Kultur dan pola pikir masyarakatnya pun kini mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih dinamis, tidak hanya terpaku kepada pemikiran yang kolot semata. Namun, apakah daerah ini masih menjadi surga bagi warganya. Tidak ada yang dapat memastikan akan hal itu.

Diperjalan menuju kampus, mataku kini terpaku pada satu sudut kampus yang mulai ramai oleh tukang ojeg yang menawarkan jasanya. Disisi lain aku melihat seorang kakek tua yang terlihat begitu sayup, namun semangatnya terus saja melekat pada diri kakek itu. Perlahan ku dekati kakek tua itu dan ternyata kakek tua itu sedang berdagang tali sepatu yang menurutku memiliki peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan keuntungan. Namun, kakek tu yang selalu memakai topi ini selalu saja berusaha dan baginya dia rela melakukan apapun demi keluarganya.

Setelah ditelusuri, kakek tua ini menghabiskan waktunya di Jatinangor menjajakan dagangannya hanya untuk bekal keluarganya. Dia tidak akan pulang kampong sampai dia mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Aku pun memutuskan untuk membeli sepasang tali sepatu itu walaupun tali sepatuku masih terlihat bagus. Namun, apa salahnya membeli sebagai cadangan nantinya.

Tadinya aku mau berbincang banyak dengan si kakek itu, namun waktu telah memaksaku untuk berpisah karena harus mengikuti perkuliahan yang lumayan padat. Rencananya aku mau mewawancarai kakek itu dilain waktu yang luang. Semoga pengalaman beliau bisa menjadi hikmah tersendiri bagi diriku pada khususnya dan teman-temanku pada umumnya. Sesampainya di kelas, aku menceritakan kejadian yang telah menimpaku kepada teman-temanku. Mereka pun merasa iba dan terharu mendengar cerita tentang si kakek itu.

Waktu istirahat pun tiba, aku pun memutuskan untuk makan di kantin bersama teman-temanku. Setelah tiba di kantin ada hal aneh yang terjadi, aku melihat kakek tua yang tadi ada di gerbang lama Unpad. Aku heran dan memastikan apakah beliau kakek yang tadi pagi digerbang. Setelah aku bertanya, ternyata memang benar kakek itu adalah pedagang tali sepatu yang tadi pagi. Namun, kali ini kakek tua itu beralih profesi menjadi pedagang Koran. Seperti biasanya, dengan semangat yang pantang menyerah kakek itu menjajakan dagangannya dengan yakin dan kalimat persuasi para pelanggannya. Teman-temanku pun terbengong dan kagum kepada kakek tua itu, di usianya yang sudah renta yang seharunya menikmati masa tuanya masih saja bekerja demi kepentingan keluarganya.

Salah satu temanku bertanya pada kakek itu tentang anaknya dan seharusnya anaknya yang menggantikan posisi si kakek. Namun, dengan legowo dan bijak kakek tua itu menjawab “selama masih bisa berjalan dan memiliki nikmat kesehatan, kakek masih mau membantu keluarga”. Lagi pula, anak-anaknya juga memiliki bebannya masing-masing karena semuanya sudah berumah tangga. Kondisi ekonomi juga mendesak si kakek untuk berusaha lebih di usianya kini yang tidak muda lagi. Akhirnya, percakapan kami dengan si kakek pun berakhir karena aku dan teman-temanku harus kembali kuliah. Salah satu temanku memborong Koran yang dijajakan kakek tua itu. Katanya sih untuk dibagikan juga untuk teman-temannya yang lain. Sang kakek pun tersenyum tanda terima kasih dengan bibir yang merekah.

Semoga kita dapat mengambil hikmah kehidupan yang lebih baik. Aaamiin.

“Malaikat Tua” Penjual Amplop

Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...